Beranda | Artikel
Seri Faidah Ushul Tsalatsah [8]
Rabu, 19 Oktober 2016

Bismillah.

Kita berjumpa kembali dalam seri faidah dari kitab al-Ushul ats-Tsalatsah karya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.

Berikutnya, Syaikh menjelaskan kewajiban kedua setelah berilmu, yaitu beramal dengannya. Beliau berkata, “Yang kedua; beramal dengannya.”

Maksudnya adalah hendaknya setiap insan mengamalkan ilmunya. Tidak cukup hanya dengan mengetahui atau mengajarkannya. Bahkan dia harus mengamalkan ilmu itu. Karena ilmu yang tidak diamalkan justru menjadi hujjah/bukti yang menjatuhkan dirinya sendiri di hadapan Allah. Dengan demikian ilmu tidak akan bermanfaat jika tidak membuahkan amalan. Karena orang yang berilmu tetapi tidak beramal dengannya maka ini adalah termasuk golongan orang-orang yang dimurkai Allah ‘almaghdhuubi ‘alaihim’; karena dia meninggalkan kebenaran setelah mengetahui hal itu dengan jelas (lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh al-Fauzan, hal. 24)

Amal itu mencakup iman kepada Allah, menunaikan ketaatan kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Tercakup dalam amal ini berbagai bentuk ibadah khusus yang bersifat pribadi maupun ibadah-ibadah yang memberikan faidah luas kepada orang lain. Ibadah khusus misalnya sholat, puasa, haji. Adapun ibadah yang meluas faidahnya antara lain amar ma’ruf nahi mungkar, jihad di jalan Allah, dsb. Amal inilah yang menjadi buah dari ilmu. Barangsiapa beramal tanpa ilmu menyerupai kaum Nasrani dan barangsiapa berilmu tetapi tidak beramal dengannya menyerupai kaum Yahudi (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah, hal. 22)

Hal ini menunjukkan bahwasanya target menuntut ilmu bukanlah untuk mendapatkan berbagai pengetahuan dan wawasan di dalam pikiran. Akan tetapi sesungguhnya yang menjadi maksud ilmu syar’i itu adalah demi mewujudkan iman dan amal salih. Oleh sebab itu ilmu yang tidak disertai dengan amal salih malah menjadi bencana bagi pemiliknya dan hujjah/bukti yang akan menjatuhkan dirinya kelak di hadapan Allah –na’udzu billah– (lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak hafizhahullah, hal. 7)

Oleh sebab itu telah menjadi kebiasaan para Sahabat radhiyallahu’anhum dahulu apabila mempelajari kurang lebih sepuluh ayat, mereka tidak akan melampauinya kecuali setelah memahami maksudnya dan berusaha mengamalkan isi ajarannya (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul oleh Syaikh Abdullah bin Ibrahim al-Qar’awi hafizhahullah, hal. 8)

Suatu ketika ada lelaki yang menemui Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu. Dia berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, amal apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Ilmu”. Kemudian dia bertanya lagi, “Amal apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Ilmu”. Lantas lelaki itu berkata, “Aku bertanya kepadamu tentang amal yang paling utama, lantas kamu menjawab ilmu?!”. Ibnu Mas’ud pun menimpali perkataannya, “Aduhai betapa malangnya dirimu, sesungguhnya ilmu tentang Allah merupakan sebab bermanfaatnya amalmu yang sedikit maupun yang banyak. Dan kebodohan tentang Allah akan menyebabkan amalmu yang sedikit atau yang banyak menjadi tidak bermanfaat bagimu.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/133])

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ilmu tentang Allah adalah pokok dari segala ilmu. Bahkan ia menjadi pondasi ilmu setiap hamba guna menggapai kebahagiaan dan kesempurnaan diri, bekal untuk meraih kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Sementara bodoh tentang ilmu ini menyebabkan ia bodoh tentang dirinya sendiri dan tidak mengetahui kemaslahatan dan kesempurnaan yang harus dicapainya, sehingga dia tidak mengerti apa saja yang bisa membuat jiwanya suci dan beruntung. Oleh karena itu, ilmu tentang Allah adalah jalan kebahagiaan hamba, sedangkan tidak mengetahui ilmu ini adalah sumber kebinasaan dirinya.” (lihat al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 98)

Imam al-Barbahari rahimahullah berkata, “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- sesungguhnya ilmu bukanlah dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang berilmu adalah yang mengikuti ilmu dan Sunnah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah, maka dia adalah penganut bid’ah, meskipun ilmu/wawasan dan bukunya banyak.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 163)

al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Ilmu itu ada dua macam. Ilmu yang tertancap di dalam hati dan ilmu yang sekedar berhenti di lisan. Ilmu yang tertancap di hati itulah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu yang hanya berhenti di lisan itu merupakan hujjah/bukti bagi Allah untuk menghukum hamba-hamba-Nya.” (lihat al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 22)

Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan tinggalkan menuntut ilmu dengan dalih untuk beramal, dan jangan tinggalkan amal dengan dalih untuk menuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-‘Ilmi al-‘Amal, hal. 44-45)

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata: Dahulu ibuku berpesan kepadaku, “Wahai anakku, janganlah kamu menuntut ilmu kecuali jika kamu berniat mengamalkannya. Kalau tidak, maka ia akan menjadi bencana bagimu di hari kiamat.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 579)

Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menimba ilmu untuk beramal maka Allah akan berikan taufik kepadanya. Dan barangsiapa yang menimba ilmu bukan untuk beramal maka semakin banyak illmu akan justru membuatnya semakin bertambah congkak.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 575-576)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Orang yang berbahagia adalah yang merasa khawatir terhadap amal-amalnya kalau-kalau tidak tulus ikhlas karena Allah dalam melaksanakan agama, atau barangkali apa yang dilakukannya tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah melalui lisan Rasul-Nya.” (lihat Mawa’izh Syaikhil Islam, hal. 88)

Muslim bin Yasar rahimahullah berkata, “Beramallah seperti halnya amalan seorang lelaki yang tidak bisa menyelamatkan dirinya kecuali amalnya. Dan bertawakallah sebagaimana tawakalnya seorang lelaki yang tidak akan menimpa dirinya kecuali apa yang ditetapkan Allah ‘azza wa jalla untuknya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 561)

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya orang beriman berprasangka baik kepada Rabbnya sehingga dia pun membaguskan amal, adapun orang munafik berprasangka buruk kepada Rabbnya sehingga dia pun memperburuk amal.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1157)

Demikian sedikit catatan semoga bisa memberikan faidah ilmu bagi kita dan menambah rasa takut kita kepada Allah. Kepada Allah semata kita meminta pertolongan dan bantuan.

14718686_1803714443177090_1758038350701659065_n


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/seri-faidah-ushul-tsalatsah-8/